Senin, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 2 Maret 2020 15:27 wib
3.613 views
Menikmati Karya Sastra Berkualitas
Oleh:
Muakhor Zakaria
Dosen Perguruan Tinggi La Tansa, Rangkasbitung, Banten Selatan
SATU hal yang menjadi keunggulan orang-orang penikmat sastra adalah berpikir terbuka, atau yang sering disebut “open minded”. Para penikmat sastra tidak mudah menilai dan menyimpulkan segala sesuatu secara tergesa-gesa. Mereka melihat berbagai kemungkinan dan segala hal melalui sudut pandang, kemudian bertindak sesuai “benang merah” dari berbagai sudut pandang tersebut.
Para penikmat sastra berkualitas tidak mudah terpengaruh apa kata orang, seberapa banyak pun orang mempercayai kabar burung tersebut. Pikirannya tidak mudah menerima begitu saja, tetapi cenderung menampung, lalu mencari pendapat dari sudut pandang berbeda, serta menjadikan semua itu sebagai sebuah hasil informasi. Mereka tidak serta-merta menyukai atau membenci secara berlebihan, karena pola pikirnya memang terbuka dengan berbagai-macam kemungkinan.
Para penikmat sastra memahami sisi kebaikan dan keburukan manusia. Tidak ada manusia sempurna di dunia ini. Pada kebaikan-kebaikan manusia ada sisi keburukan yang tersimpan di dalamnya, begitupun pada keburukan-keburukan manusia terdapat sisi kebaikan yang ada pada dirinya. Potensi baik bisa saja menjelma pada orang yang disebut “jahat” sekalipun, sehingga dapat mengangkat derajatnya serta menyelamatkan dirinya. Sebaliknya, orang-orang yang disebut “alim” dan “soleh” dapat saja menampilkan sisi buruk yang menyeruak dan menenggelamkan nama baiknya.
Para penikmat sastra tidak mudah terhasut dan termakan berita hoaks. Mereka cenderung objektif terutama yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Mereka tidak memandang siapa yang mengatakan atau terlibat ataupun dari golongan mana dia berasal. Bagi mereka, data apapun adalah informasi selama bisa dipertanggungjawabkan. Mereka rela menghabiskan lebih banyak waktu untuk riset dan diskusi agar bisa mengajukan solusi atau masukan demi terwujudnya kepentingan bersama.
Pada umumnya, para penikmat sastra berpandangan religius, terbuka dengan segala kemungkinan yang ada, tidak semata-mata mengontrol pikirannya hanya berdasarkan ilmu dan pengalamannya sendiri. Mereka mampu mewadahi ide dan masukan orang lain seperti apapun, tanpa berkomentar yang dapat menjatuhkan kredibilitas dan penghargaan terhadap orang lain.
Bila masyarakat kita belum terbuka pikirannya dalam menikmati karya-karya sastra, akan sulit untuk ikhlas mendengar pendapat lawan bicaranya. Tipikal semacam ini biasanya senang memakai term “pokoknya”, hingga cenderung menutup diri terhadap pikiran yang bertentangan dengan pendapatnya. Mereka bagaikan katak dalam tempurung, sulit berkembang untuk memanusiakan dirinya, apalagi memanusiakan orang lain.
Perkembangan dan perubahan yang super cepat saat ini, meniscayakan masyarakat kita mampu berpikir terbuka. Para penikmat sastra adalah tipikal manusia yang sanggup membuka pikiran lebar-lebar, termasuk kepada mereka yang baru dikenal sekalipun. Don’t judge the book only from the cover. Jangan pernah menilai sesuatu dari tampak luarnya. Pada kesan pertama, kita masih punya terlalu sedikit informasi untuk membuat penilaian yang pasti.
Para penikmat sastra selalu menampilkan kesan yang rasional terhadap orang lain (liyan) yang baru dikenal. Mereka tidak biasa menilai orang lain berdasarkan dugaan dan prasangka negatif. Mereka senantiasa belajar untuk mendengar, karena langkah itu adalah yang terbaik untuk menuntut ilmu dan menimba informasi. Di negeri ini sudah terlampau banyak orang yang bicara serta tampil dengan beragam gaya, tapi baru sedikit orang yang mau mendengarkan orang lain.
Masyarakat penikmat sastra memiliki motto hidup yang sederhana, yakni “setiap orang adalah guru”. Hal ini akan bermuara pada penilaian positif bahwa setiap tempat adalah sarana untuk menuntut ilmu, setiap pengalaman adalah pelajaran, dan setiap waktu adalah kesempatan belajar untuk menjadi lebih baik.
Sebagai orang yang berpikir terbuka, para penikmat sastra akan selalu siap menghadapi saran dan kritik. Mereka tidak menganggap kritik sebagai hal yang menjatuhkan dirinya. Baginya, kritik adalah cara untuk menyingkap hal-hal yang selama ini alpa dilihat dan dicermati dengan baik. Kritik hanyalah soal perbedaan pandangan yang boleh jadi bisa memperkaya khazanah baru.
Bagi penikmat sastra, perbedaan bukanlah hal yang harus dihindari, apalagi dimusuhi. Perbedaan justru perlu dirayakan sebagai kekayaan khazanah dan perbendaharaan baru. Akan sangat membosankan dalam hidup ini, jika segala pendapat dan pandangan hidup selalu sama dan selaras dengan diri kita. Hal ini, bukan berarti kita menerima saja pendapat orang sebagai sesuatu yang benar. Kita harus bisa berpikir kritis untuk membedakan mana pendapat yang logis dan yang tidak.
Penikmat sastra berkualitas senantiasa memfilter pendapat mana yang sesuai dengan prinsipnya, dan mana yang tidak. Meskipun begitu, ia berpendapat bahwa setiap penikmat sastra harus memiliki pemikiran yang terbuka serta menghormati sebuah pendapat logis yang bertentangan dengan prinsipnya sekalipun. Sikap yang bijak ini membuat pola pikirnya selalu lentur dan elastis. Mereka menyadari, boleh jadi pemikiran orang lain yang justru benar, karena itu mereka punya kemauan untuk terus belajar, berkarya, serta memiliki hasrat yang tinggi tentang rasa ingin tahu.
Dengan banyak menerima pendapat orang lain, mereka juga bisa menggunakan berbagai macam perspektif dalam memandang suatu masalah. Inilah yang mencegah mereka untuk bersikap gegabah, karena memang pandai dalam mengukur risiko.
Para penikmat sastra, hidupnya berwarna-warni bagai pelangi-pelangi di sore hari. Mereka tidak mau bergerak hanya di satu tempat, dan hanya satu warna saja. Mereka memiliki derajat dan kedudukan tinggi, karena itu orang-orang sembrono akan takut mendekatinya. Mereka bersikap seperti itu karena tahu bahwa para penikmat sastra bukanlah orang yang akan seenaknya menghakimi orang lain, atau mengklaim segala sesuatu secara hitam-putih belaka.
Pada prinsipnya, membaca dan menikmati karya sastra akan membantu dan menjadikan masyarakat lebih dewasa dan bahagia. Bukan dewasa dalam pengertian umur, tetapi dewasa dalam menyikapi berbagai masalah. Lebih religius. Bukan semata-mata formalitas hukum agama tetapi memahami makna religiusitas yang otentik.
Masyarakat kita tidak selayaknya menjalani hidup ala kadarnya, alih-alih membahagiakan dan mendewasakan orang lain yang justru harus dimulai dari figur-figur yang mampu membahagiakan dirinya terlebih dahulu. Karena itu, bahagiakan diri kita dengan membaca dan menikmati karya sastra yang berkualitas!*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!