Jum'at, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 20 Maret 2020 04:10 wib
4.830 views
Menimbang Keseriusan Negara dalam Penanganan Covid-19
Oleh:
Bukhori Yusuf, Lc., M.A
Anggota Komisi VIII DPR RI
JUMLAH pasien Covid-19 di Indonesia mengalami peningkatan tajam. Pada kasus awal per 2 Maret 2020, hanya terdapat dua kasus pasien yang dikonfirmasi positif Covid-19. Namun jumlah tersebut mengalami lonjakan drastis per 17 Maret 2020 dengan total 172 kasus. Selain mengalami peningkatan secara kuantitas, kasus Covid-19 juga mengalami perkembangan secara sebaran kasus di sejumlah wilayah. Menurut Jubir Penanganan Covid-19, sebaran kasus tersebut tercatat di DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kepuluan Riau.
Namun data berbeda dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukan ada lebih dari 4 wilayah yang menjadi sebaran kasus sebagaimana disampaikan oleh Jubir Penanganan Covid-19. Kemenkes menambahkan wilayah Banten, Yogyakarta, Bali, Sulawesi Utara dan Kalimantan Barat. Sehingga jika dihimpun, tercatat ada 10 sebaran kasus Covid-19 di Indonesia hingga 17 Maret 2020. Data terbaru per 18 Maret menyebutkan terdapat 227 kasus positif dengan jumlah kematian akumulatif 19 orang. Dari angka tersebut bisa dihitung Case Fatality Rate (CFR) atau tingkat kematian dalam pandemi Covid-19 sebesar 8,37%. Angka ini membuat Indonesia menjadi negara dengan tingkat kematian dua kali lipat lebih tinggi ketimbang rata-rata tingkat kematian dunia akibat pandemi ini.
Lonjakan tajam tersebut bukan tanpa sebab. Sistem kesiapsiagaan negara dalam menghadapi ancaman dini Covid-19 patut dipertanyakan. Sebenarnya, peringatan dini telah disampaikan jauh hari melalui prediksi para ilmuwan terkait potensi penyebaran Corona di Indonesia.
Salah satunya melalui penelitian berjudul Using Predicted Imports of 2019-nCov Cases to Determine Locations That May Not Be Identifying All Imported Cases (2020) yang ditulis oleh 5 peneliti Harvard University.Penelitian tersebut mencoba menelusuri apakah kasus Covid-19 yang sudah terdeteksi di suatu negara mewakili jumlah kasus aktual. Penelitian tersebut menghitung hubungan statistik antara jumlah pengunjung sebuah negara dengan jumlah kasus yang terdeteksi dengan perkiraan 95 persen interval prediksi.
Menurut penelitian tersebut, Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki penerbangan langsung dari dan menuju Wuhan (episentrum penyebaran Corona) sehingga ada kemungkinan besar bahwa ada warga Indonesia yang sudah terpapar. Sejumlah negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, hingga Australia bahkan telah mengonfirmasi terpapar virus tersebut. Kendati demikian, Indonesia belum melaporkan kasus tersebut sehingga menuai banyak spekulasi.
Alhasil, penelitian tersebut menuai reaksi keras dari pemerintah Indonesia. Tepatnya pada 11 Februari, Menteri Kesehatan membantah, bahkan menilai hasil temuan tersebut sebagai bentuk penghinaan. Ia berdalih bahwa peralatan kesehatan yang digunakan Indonesia sudah sesuai dengan standar WHO sehingga tidak mungkin “kecolongan”.
Selain itu, sejumlah pernyataan kontroversial juga dilontarkan oleh beberapa menteri dengan nada kelakar yang menampik bahwa virus Covid-19 sudah menyebar di Indonesia. Bahkan, pada saat yang bersamaan pemerintah pusat tengah menggodok rencana pemberian diskon insentif sebesar 30% untuk wisatawan domestik maupun mancanegara untuk menggenjot sektor pariwisata ketika sejumlah negara tengah diterjang epidemi Covid-19.
Apa yang sudah diprediksi ilmuwan akhirnya terjadi. Pada Senin, 2 Maret 2020, Presiden Jokowi sendiri yang mengumumkan secara resmi bahwa ada dua warga negara Indonesia yang positif terjangkit Covid-19. Apa yang dicemaskan masyarakat benar terjadi sehingga berbuntut pada gejolak sosial ekonomi di akar rumput. Fenomena panic buying terjadi secara sporadis. Harga bahan pokok dasar beranjak naik. Alat-alat kesehatan perlahan menghilang di pasaran. Penimbunan dan permainan harga terjadi di sejumlah tempat.
Bahkan, sejumlah tenaga medis di beberapa rumah sakit mengeluhkan kesulitan memperoleh persediaan masker yang mulai langka di pasaran. Padahal, mereka adalah garda terdepan yang berinteraksi langsung dengan korban yang angkanya terus merangkak naik. Belum lagi fasilitas kesehatan di sejumlah rumah sakit belum memiliki peralatan kesehatan yang memadai. Misalnya, sejauh ini tercatat hanya ada tiga rumah sakit yang menjadi rujukan utama pasien Covid-19 di Jakarta, yaitu RSPAD Gatot Subroto, RS Persahabatan, dan RSPI Sulianti Suroso.
Dengan jumlah yang minim tersebut sangat kecil kemungkinan pasien –yang angkanya terus bertambah- bisa tertangani dengan optimal. Apalagi, jumlah tenaga medis yang tersedia dengan jumlah pasien yang dirawat tidak sebanding.Nyawa manusia yang dipertaruhkan dalam situasi ini.
Secara yuridis, konstitusi telah mengamanahkan kepada negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia sebagaimana termaktub dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. Oleh karena itu, komitmen negara tengah diuji pada titik nadir tersebut.Sejauh mana keseriusan negara dan seberapa besar daya usaha yang dicurahkan dalam penanganan Covid-19.Negara harus hadir penuh dalam situasi ini.
Pemerintah Belum Satu Suara: Catatan Penting
Pertama, pola koordinasi dan komunikasi antara Pusat dan Daerah perlu diselaraskan. Idealnya, segala bentuk pengumuman penting yang berkaitan dengan fenomena global dilakukan oleh figur setingkat Presiden, bukan Menteri apalagi kepala daerah. Salah satu cermin “kurang kompaknya” langkah pemerintah bisa dilihat dari tindakan pemerintah daerah yang terkesan “melangkahi” wewenang pemerintah pusat dalam memberikan public statement ihwal potensi dini Covid-19 di Indonesia
Pada tanggal 1 Maret 2020, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan secara mengejutkan mengungkap data 115 pasien dan 32 orang dalam di DKI Jakarta pengawasan terkait Covid-19. Pada saat yang bersamaan, Anies menerbitkan Instruksi Gubernur (Ingub) No. 16 Tahun 2020 terkait penanganan Covid-19. Secara garis besar, Ingub tersebut berisi perintah bagi seluruh jajaran di bawah pemprov DKI Jakarta untuk siap mengantisipasi dan menyosialisasikan penyebaran virus Corona. Anies juga membentuk tim tanggap Covid-19 yang diketuai asisten Kesra Pemprov DKI Jakarta.
Namun sehari berselang, Pemerintah Pusat mengumumkan secara resmi bahwa ada 2 warga Indonesia berdomisili di Depok positif terjangkit Corona. Pernyataan tersebut disampaikan Jokowi didampingi oleh Menkes Terawan. Artinya, secara persiapan taktis Pemerintah Pusat terlihat “kecolongan” oleh Pemerintah Daerah, dalam hal ini DKI Jakarta, yang kadung menerbitkan Ingub bahkan membentuk tim tanggap Covid-19 satu hari sebelum pengumuman pemerintah pusat tersebut.
Kedua,terjadi perbedaan tajam antara pusat dan daerah terkait kebijakan penyediaan kanal informasi Covid-19. Pemerintah pusat menghendaki kanal informasi tersentralisasi sedangkan pemerintah daerah sudah terlanjur mendirikan pusat infomasi. DKI Jakarta memiliki (corona.jakarta.go.id) dan Jawa Barat memiliki (pikobar.jabarprov.go.id). Sebenarnya, pemerintah pusat juga telah memiliki tiga kanal informasi dibawah naungan Kemenkes, Kantor Staf Presiden (KSP), dan satgas Penanganan Covid-19. Kemenkes memiliki infeksiemerging.kemkes.go.id, KSP memiliki ksp.go.id/waspada-corona sementara satgas memiliki www.covid19.go.id. Ketiga situs ini tidak terintegrasi satu sama lain sehingga tidak ada kanal informasi terpusat. Bahkan dalam pantauan penulis, per 3 Maret 2020, kedua situs yang disebut di awal belum menampilkan perkembangan terkini soal Corona kendati sehari sebelumnya telah ada konfirmasi resmi terkait Corona di Indonesia dari Presiden Jokowi. Begitupun www.covid19.go.id. yang dalam pantauan penulis pada 18 Maret pukul 22.52 tidak bisa diakses.
Sayangnya, inisiatif DKI Jakarta dan Jawa Barat mendirikan pusat informasi dikritik oleh Menkominfo, Mendagri, dan Menkopolhukam. Artinya, kemunculan sentimen tersebut mengindikasikan koordinasi yang lemah antara pusat dan daerah. Selain itu, fenomena inisiatif pemerintah daerah yang mulai mengandalkan diri sendiri menandakan “hilangnya kepercayaan” mereka pada kemampuan pemerintah pusat dalam penanganan wabah secara nasional.
Selain itu, dalam hal uji spesimen, pemerintah pusat masih bersikukuh mengandalkan 11 laboratorium uji yang berada dibawah wewenang Kementerian Kesehatan. Semua spesimen dari beberapa wilayah sebaran kasus Covid-19 di Indonesia harus dikirim lebih dahulu ke Jakarta untuk diuji. Padahal, kapasitas laboratoriumyang terbatas dan model uji spesimen yang sentralistik ini hanya akan membuat hasil pengujian diperoleh dalam rentang waktu yang lamadan pemerintah akan mengalami kesulitan dalam melakukan deteksi dini Covid-19. Padahal, pemprov DKI Jakarta,pemprov Jawa barat, dan Lembaga Eijkman sudah menawarkan diri untuk turut membantu kerja pusat. Apalagi, Lembaga Eijkman pernah terlibat dalam penanganan wabah flu burung pada tahun 2004 sehingga kapasitasnya tidak perlu lagi diragukan. Ke depan, pemerintah pusat diharapkan bersikap lebih responsif dan terbuka dalam menerima segala bentuk kerjasama dari pemerintah daerah demi terwujudnhya efisiensi dan efektivitas kinerja dalam penanganan covid-19.
Ketiga,sikap plin plan pemerintah pusat membuat publik simpangsiur. Dilansir dari CNN Indonesia (13/3/2020), Presiden Jokowi menyampaikan tidak perlu membentuk satgas untuk menangani penyebaran Covid-19. Menurutnya, satgas tersebut telah ada dan dikomandani sendiri olehnya. Namun, pada tanggal yang bersamaan, Badan Intelijen Negara (BIN) mengonfirmasi penunjukan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo, sebagai Ketua Satgas Penanganan Covid-19. Pembentukan satgas tersebut dilakukan melalui Keppres No. 7 Tahun 2020 Tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Bahkan dalam susunan keanggotaan Satgas tersebut, pelaksananya diketuai oleh Kepala BNPB, bukan Presiden. Begitupun dengan susunan anggota pengarah yang terdiri dari Menko PMK, Menkopolhukam, Menkes, dan Menkeu. Artinya, Presiden Jokowi bersikapplin plan dalam menetapkan penanggungjawab tertinggi penanganan penyebaran virus Corona. Integritasnya pun perlu dipertanyakan.
Selain itu, pada tanggal 15 Maret 2020 di Istana Bogor, PresidenJokowi meminta kepala daerah memonitor dan menentukan status daerahnya. Kemudian berkonsultasi dengan BNPB dalam penentuannya. Namun, pada 16 Maret 2020, Presiden Jokowi justru melarang Pemda untuk melakukan lockdown atau karantina wilayah. Ia menegaskan bahwa wewenang kebijakan lockdown di tingkat nasional dan daerah ada di pemerintah pusat. Padahal, sehari sebelumnya ia telah mewenangkan kepada daerah untuk menentukan sendiri status daerahnya.
Dalam perspektif kebijakan publik, sikap plin plan dan tumpang tindih instruksi dari pusat dan daerah akan menjebak pemerintah daerah dalam situasi dilema. Konsekuensinya, pemerintah daerah akan mengalami kegamangan dalam menerapkan kebijakan berdasarkan proporsi kebutuhan wilayahnya. Jika memaksakan kehendak akan dinilai inkonstitusional oleh pusat, sedangkan jika menuruti kehendak pusat akan berimbas pada melemahnya upaya mitigasi yang dilakukan wilayah.Apalagi, setiap wilayah memiliki derajat kerentanan yang berbeda dalam menghadapi Corona. Sebagai contoh, dari 10 wilayah sebaran kasus Covid-19, provinsi DKI tercatat sebagai penyumbang kasus terbanyak. Oleh karena itu, dibutuhkan langkah mitigasi khusus bagi wilayah ini dimana proprosinya pasti akan berbeda dengan wilayah dengan minor case.
Mengambil Langkah Strategis
Kendati langkah kesiapsiagaan dini pemerintah menjadi catatan penting untuk pembelajaran ke depan, kita perlu optimis bahwa masih ada kesempatan untuk memperbaiki keadaan. Ada empat langkah strategis yang bisa penulis usulkan sebagai mitigasi maksimal dalam menekan angka penularan yang diprediksi akan mencapai puncaknya pada Mei mendatang.
Pertama, pemerintah pusat dan daerah perlu membenahi pola komunikasi mereka sehingga sistem koordinasi bisa bekerja dengan optimal melalui arahan yang jelas dan terukur. Oleh karena itu, Presiden perlu mengambil alih komando pusat penanganan Covid-19 sesuai denganpasal 7 UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana dimana pemerintah pusat memiliki wewenang penuh untuk menetapkan kebijakan yang selaras dengan pembangunan nasional serta melakukan mobilisasi sumberdaya secara nasional sebagai langkah stategis untuk mitigasi maksimal bencana non alam. Kehadiran Presiden di garda terdepan akan memberikan suntikan moril bagi pemerintah daerah agar lebih serius dalam tindakan penanganan. Lebih komitmen dalam menjalankan protokol yang telah ditetapkan.
Selain itu, masyarakat akan merasakan kehadiran negara secara utuh di tengah ketakutan yang melanda mereka. Kehadiran figur Presiden dalam situasi pelik secara moril memberikan harapan bagi mereka bahwa keadaan akan berangsur membaik. Secara konsekuensi logis, akan berpengaruh pada peran serta masyarakat yang meningkat sehingga segala bentuk himbauan mampu dilaksanakan secara efektif dan bertanggungjawab.
Kedua, memperkuat kerjasama di segala lini. Melalui komando terpusat, setiap lembaga penelitian, rumah sakit, dan stakeholder lain yang bersinggungan dalam menangani Covid-19 akan dikoordinir danbekerja saling bahu membahu. Pemerintah pusat perlu membuka ruang seluasnya bagi laboratorium uji spesimen yang telah melalui proses standardisasi dari pemerintah untuk terlibat secara kolektif dalam proyek tes massal untuk deteksi dini. Hal tersebut tidak perlu dilakukan dengan pola sentralistik, yaitu mengirim spesimen ke Jakarta untuk diuji, tetapi setiap laboratorium ini diberikan wewenang dan protokol penanganan khusus di setiap wilayahnya agar pengujian bisa dilakukan secara efisien, efektif, dan terkoordinir. Oleh karena itu proyek ini juga perlu didukung oleh pendanaan yang kuat. Anggaran dialokasikan untuk pendirian laboratorium baru di setiap wilayah yang terpapar, pengembangan vaksin, serta riset untuk mempersingkat waktu diagnosa pasien agar bisa mengetahui dalam waktu kurang dari 14 hari.
Ketiga,komitmen serius pemerintah dalam menerapkan kebijakan yang berorientasi menekan angka penularan. Berdasarkan pantauan di lapangan, kebijakan social distancing tidak efektif di sejumlah wilayah. Alasannya sederhana, faktor ekonomi. Tidak semua segmen masyarakat bisa melakukan model kerja Work From Home (WFH). Oleh karena itu pemerintah pusat maupun daerah perlu bekerjasama merumuskan model bantuan pangan khusus untuk jangka waktu tertentu agar masyarakat bisa efektif melaksanakan social distancingsehingga mampu menekan angka penularan. Apalagi dengan kapasitas fasilitas kesehatan dan tenaga medis yang terbatas sangat mustahil untuk menerima lonjakan pasien yang semakin banyak tertular akibat abai terhadap himbauan social distancing pemerintah.
Keempat, tes massal dan lockdown jika diperlukan. Salah satu keberhasilan Korea Selatan dalam menekan angka Covid-19 adalah dengan melakukan deteksi dini melalui tes massal. Belajar dari negeri Ginseng tersebut, negara bisa menerapkan hal serupa sebelum wabah menyebar semakin parah. Langkah preventif ini sangat penting untuk memudahkan satgas dalam melakukan pemetaan dan antisipasi lonjakan angka yang signfikan di waktu mendatang. Ini akan memberikan mereka jeda waktu untuk mempersiapkan perangkat teknis maupun non-teknis agar tindakan mitigasi bisa dilakukan dengan optimal.
Selain itu, tindakan lockdown bisa menjadi hal yang sangat penting dan mendesak untuk diterapkan mengingat tingkat penularan virus yang semakin cepat. Sejauh ini tindakan himbuan social distancing dari pemerintah kurang efektif. Masih banyak ditemukan warga yang berkeliaran dan berkerumun di luar. Diperlukan regulasi yang mengikat dan memaksa agar warga bertahan di rumah melalui penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) atau Keputusan Presiden (Keppres).
Pembatasan akses masuk dan keluar satu wilayah serta fasilitas publik akan meredam potensi penularan virus. Kebijakan ini perlu dilakukan secara terukur dilihat dari derajat kerentanan wilayah dan aspek kedaruratannya. Dalam situasi genting, Negara harus berhenti memikirkan kebijakan yang berorientasi pada stabilitas ekonomi dan mulai mengedepankan kebijakan yang mengutamakan perlindungan dan keselamatan warganya.
Langkah strategis diatas perlu dilakukan negara dengan berorientasi pada amanah konstitusi, yaitu pembukaan UUD 1945 alinea ke-4. Pada alinea tersebut dengan tegas disampaikan bahwa salah satu tujuan berdirinya negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Oleh karena itu, keselamatan warga negara tidak bisa dipandang sebagai perkara teknis semata tetapi persoalan yang paling mendasar dalam memimpin dan bernegara.
Jika bukan negara yang bertanggungjawab, lantas siapa lagi?*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!