Jum'at, 8 Jumadil Akhir 1446 H / 12 April 2024 13:42 wib
8.705 views
Generasi Enggan Menikah, Apa yang Salah?
Oleh: Fina Fatimah
Menikah umumnya merupakan salah satu momen yang banyak ditunggu-tunggu oleh muda-mudi di berbagai belahan dunia. Namun ternyata, lambat laun angka pernikahan kian merosot. Tak hanya di luar negeri saja, bahkan tahun ini penurunan angka pernikahan secara drastis juga terjadi di Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 ada beberapa daerah di Indonesia yang mengalami penurunan angka pernikahan. Misalnya, DKI Jakarta mengalami penurunan sebanyak 4.000, Jawa Barat menurun sebanyak 29.000. Begitupun penurunan di Jawa Tengah yang mencapai angka 21.000 dan Jawa Timur di angka 11.000. Data BPS juga menjelaskan bahwa angka pernikahan di Indonesia tahun 2023 menurun sebanyak 128 ribu dibandingkan tahun 2022. Adapun dalam satu dekade terakhir, angka pernikahan di Indonesia menurun sebanyak 28,63 persen. (detik.com 22/03/2024)
Ada beberapa faktor yang menyebabkan fenomena merosotnya angka pernikahan ini terjadi, di antaranya:
Pertama, generasi saat ini berada dalam kondisi dimana serba mandiri dan kurangnya mendapatkan dukungan dari keluarga. Akibatnya generasi kehilangan gambaran tentang pernikahan yang seharusnya dan tidak mengetahui pentingnya peran keluarga itu. Kemudian diperparah lagi dengan adanya paham kesetaraan gender yang menyuarakan kebebasan kaum perempuan bahwa hak setiap perempuan adalah untuk menentukan nasibnya sendiri. Paham kesetaraan gender ini memandang pernikahan sebagai sumber eksploitasi, beban, dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Paham ini semakin membuat generasi-khususnya kaum wanita- enggan menikah karena sudah tidak ada lagi kepercayaan terhadap institusi keluarga.
Kedua, banyak di antara generasi terlilit beban ekonomi yang tidak bisa mencukupi kebutuhan hidupnya ditambah adanya tanggungan yang harus diurusnya. Hal ini menjadikan prioritas generasi saat ini adalah untuk bekerja. Paham kapitalisme yang mendewakan materi berperan dalam merusak pola pikir generasi. Generasi jadi memiliki pandangan bahwa menikah hanyalah menambah beban dan bisa membuat kondisi ekonominya semakin merosot. Alhasil, banyak generasi yang memilih menunda pernikahan, bahkan sama sekali tidak ingin menikah.
Ketiga, adanya regulasi atau pun proyek pembangunan generasi yang menyebabkan generasi enggan atau menunda menikah. Seperti regulasi pembatasan umur pernikahan yang tertuang dalam UU No. 16 tahun 2019 yang membatasi usia pernikahan adalah 19 tahun. Hal ini mempersulit muda-mudi yang siap untuk menikah. Adapun dampak lain dari diterapkannya regulasi ini, pergaulan bebas kian meningkat. Selanjutnya ada juga proyek pembangunan GenRe (Generasi Berencana) yang bertujuan agar pemuda memiliki perencanaan kehidupan yang matang, hidup bahagia, dan tidak banyak beban. Beban disini dimaknai dengan beban ekonomi. Sehingga program ini mensosialisasikan stop pernikahan dini yang dirasa dapat menyebabkan stunting dan perceraian dini. Dibalik program-program ini ada gabungan paham kesetaraan gender dan kapitalisme yang diadopsi oleh negara untuk dijadikan proyek pembangunan generasi.
Mengapa marak diaruskannya generasi untuk tidak terburu-buru menikah? Ini erat kaitannya dengan asas manfaat bagi kalangan tertentu. Manfaatnya yaitu banyaknya generasi muda yang terserap ke dalam dunia kerja untuk meningkatkan perekonomian dan mengurangi pengangguran muda. Namun alih-alih mendapat keuntungan, justru sebaliknya. Hal ini malah menyebabkan turunnya angka kesuburan yang mengkhawatirkan tingkat populasi sehingga menjadi ancaman terjadinya depopulasi di suatu saat nanti.
Bagi seorang muslim, kita harus menyadari bahwa fenomena ini merupakan masalah yang memerlukan solusi karena dapat membahayakan ketahanan keluarga muslim. Keluarga merupakan salah satu pilar masyarakat muslim. Lahirnya generasi muslim yang cemerlang berawal dari keluarga yang di dalamnya terdapat kenyamanan dan keamanan. Jika di awal generasi tidak terkondisikan dengan baik, maka ketika dewasa kelak akan menjadi generasi yang mengkhawatirkan.
Sebagai muslim, kita harus memiliki pemahaman yang benar dan tepat. Kita harus bisa memposisikan diri kita. Sebagai individu, kita adalah hamba Allah yang harus bertakwa kepada-Nya. Sebagai masyarakat, kita haruslah berperan menjadi orang yang melakukan perbaikan. Oleh karena itu, kita harus memastikan bahwa generasi memiliki pemahaman yang benar dalam memandang pernikahan.
Islam sendiri mendorong kaum muslimin untuk menikah dengan dorongan yang kuat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Menikah adalah sunnahku siapa yang tidak mengamalkan sunnahku maka dia bukan termasuk umatku, menikahlah karena aku sangat senang atas jumlah besar kalian di hadapan umat-umat lain. Siapa yang telah memiliki kesanggupan maka menikahlah jika tidak maka berpuasalah karena puasa itu bisa menjadi kendali." (HR. Ibnu Majah)
Islam juga tidak mengingkari bahwa menikah itu perlu kesiapan. Maka, solusi bagi yang belum siap menikah bukanlah dengan meniadakan pernikahan, tetapi dengan mempersiapkannya. Yang paling utama adalah siap dalam segi ilmu, paham akan konsekuensi hukum-hukum syara yang berlaku setelah menikah. Tidak hanya siap dalam segi materi saja. Karena kesiapan ilmu ini berpengaruh juga terhadap kesiapan mental dan kematangan psikologi seseorang. Dengan ilmu, laki-laki tidak akan lepas tanggung jawabnya menafkahi dan mendidik keluarga. Dengan ilmu pula, seorang istri bisa bersabar tatkala mendapat ujian ekonomi dan tatkala mengurus anaknya. Sayangnya, hal ini yang banyak tidak dipahami oleh generasi dikarenakan banyaknya kondisi yang menekan dan mempersulit mereka.
Selanjutnya kita juga harus membuang jauh-jauh pemahaman-pemahaman rusak seperti kapitalisme dan kesetaraan gender di atas dan menggantinya dengan pemahaman Islam Kaffah. Paham kapitalis dan kesetaraan gender tersebut memandang bahwa menikah adalah beban sedangkan paham Islam memandang pernikahan adalah ibadah yang dapat mendatangkan pahala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah kepada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR Al-Baihaqi)
Yang terakhir, penting juga mendesain pembangunan generasi dengan Islam Kaffah yang mampu menyejahterakan namun tidak mengorbankan generasi itu sendiri. Untuk ini, pemahaman Islam perlu dilembagakan dengan adanya negara yang mengimplementasikan syariat Islam secara menyeluruh.
Visi Islam untuk menegakkan kalimat tauhid di muka bumi. Adapun misinya adalah dengan menerapkan syariah Islam ke seluruh dunia. Tentu untuk melaksanakan misi ini diperlukan generasi muslim yang banyak. Maka dalam Islam, negara memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan generasi unggul ini. Penguasa harus menjadi pengurus umat juga sebagai perisai bagi umat yang menjaganya dari gempuran paham-paham rusak yang bertentangan dengan paham Islam. Sehingga akan tercipta lingkungan yang kondusif dan daya dukung yang baik bagi generasi. Dengan ini generasi tidak akan terbebani saat menapaki kehidupan yang salah satu fasenya adalah fase pernikahan. Wallahu a’lam bishshawaab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!