Oleh: Silvia Anggraeni, S. Pd
Pemerintah resmi memberikan ruang bagi organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan untuk mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
Hal tersebut termuat di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.(CNBC, 10/06/2024)
Adapun alasan pemberian izin tersebut karena kontribusi ormas keagamaan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Selain itu juga karena peran besar para ulama dari Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang mengeluarkan fatwa jihad ketika Agresi Belanda pada tahun 1948. Kemudian pemerintah merujuk pada UUD 1945 pasal 33 terkait kekayaan alam yang dikuasai negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat, namun karena dalam implementasi potensi alamnya belum maksimal sehingga peran ormas dibutuhkan sebagai bagian penting bagi aset negara. Karena menurut pemerintah untuk menyejahterakan rakyat dan menghilangkan ketimpangan sosial ekonomi adalah dengan menyejahterakan organisasi masa.
Jika dasarnya adalah pemerataan kesejahteraan, kebijakan ini tentu takkan mampu menyentuh akar masalahnya. Sebab tak semua masyarakat tergabung dalam ormas keagamaan tersebut. Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan adalah kapabilitas ormas itu sendiri dalam mengelola tambang. Yang menjadi kekhawatiran adalah jika pengelolaannya justru akan berakhir ditangan korporasi. Alih-alih kesejahteraannya merata, yang ada justru ketimpangan akan makin nyata.
Selain itu, ada indikasi politik balas budi dalam kebijakan yang mirip "potong roti kekuasaan" ini. Menurut pengamat politik dan internasional Universitas Murdoch, Ian Wilson, keputusan pemerintah memberikan izin pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan jika dilihat dari perspektif pemerintahan dan politik adalah sebagai bagian upaya mengurangi kesenjangan sosial. Namun, ia juga mencium adanya upaya "balas jasa" terkait kebijakan tersebut. Secara politis, Wilson menganggap langkah itu sebagai "transaksional" atau cara untuk membalas budi ormas agama tertentu yang mendukung pemerintah, termasuk dalam pemenangan presiden.
Pendapat ini tentu bukan tanpa dasar, mengingat pada pemilihan presiden pada Februari lalu, ketua PBNU Yahya Cholil Staquf menegaskan bahwa organisasinya akan selalu mendukung pasangan Prabowo-Gibran. PBNU juga selama ini disebut dekat dengan pemerintah. Selanjutnya kebijakan ini juga dinilai sebagai strategi mengikat ormas ke jaringan kepentingan pemerintah. Menurut Wilson, dengan membagi konsesi batu bara ke ormas seperti NU maka akan mendapatkan pembelaan dan legitimasi dengan dalih agama bagi industri yang mencemari lingkungan ini.
Politik balas budi memang sangat akrab dalam demokrasi. Politik yang disebut juga dengan politik etis ini dicetuskan oleh Conrad Theodor van Deventer dalam tulisannya, Een Eeresschuld (Utang Kehormatan) pada tahun 1899. Dan kemudian digunakan sebagai program balas budi yang diberikan oleh Belanda untuk kesejahteraan pribumi karena telah diperlakukan tidak adil dan dieksploitasi kekayaan alamnya selama masa penjajahan. Jika dulu Belanda menerapkannya karena mendapat daerah jajahan untuk dieksploitasi. Maka pemerintah sekarang melakukannya karena berhasil mendapatkan kekuasaan. Hanya berbeda era dan lakon, namun masih dengan cerita yang sama.
Sehingga baik zaman dulu maupun sekarang, politik balas budi ini takkan berguna bagi rakyat. Sebab dalam pelaksanaannya, semua ditujukan untuk kepentingan penguasa dan segelintir orang saja. Pemerataan kesejahteraan tetap menjadi mimpi yang tak pernah terwujud. Padahal sejatinya kekayaan alam yang begitu berlimpah adalah sumber kesejahteraan milik seluruh rakyat. Sebaliknya, hal ini hanya akan menjadi nyata jika Islam yang mengatur seluruh masalah pengelolaan sumber daya alam.
Karena dalam sistem Islam, tambang dengan deposit yang melimpah seperti gas, batu bara, minyak bumi, besi, nikel, tembaga dan lainnya, tidak boleh dimiliki oleh individu atau sekelompok orang untuk menguasai dan mengeksplorasinya. Negaralah yang berhak menguasai dan mengekplorasi demi kepentingan rakyat. Abyadl bin Hammal ra. menyatakan bahwa: ia pernah mengunjungi Rasulullah Saw, lalu meminta tambang garam kepada beliau. Nabi Saw lalu memberikan tambang tersebut kepadanya. Ketika ia pergi, dan seorang lelaki yang berada di majelis berkata (kepada beliau): "Tahukan anda, apa yang anda berikan kepada dia? Anda telah memberikan dia sesuatu seperti air yang mengalir." Perawi berkata: "lalu Nabi Saw mencabut kembali pemberiannya." (HR. At-Tirmidzi)
Dari hadits di atas jelaslah bahwa tambang masuk dalam kepemilikan umum yang tak dapat dikuasai oleh segelintir orang. Hanya negara yang boleh mengolahnya dan menggunakan hasilnya untuk membiayai kepentingan rakyat. Dengan kata lain, tak ada konsesi di dalam Islam pada harta yang bukan milik negara. Adapun contoh kepemilikan negara adalah ghanimah, fa'i, khumus, kharaj, jizyah, ushr. Maka jelaslah bahwa konsesi tambang bagi ormas keagamaan tak sesuai dengan Islam.
Demikianlah sistem kepemilikan dalam Islam, sehingga mampu memeratakan kesejahteraan kepada seluruh rakyat. Sebab hanya negara yang berhak mengelola sumber daya alam seperti tambang yang jumlahnya berlimpah. Negara berfungsi sebagai wakil rakyat, sehingga dalam pelaksanaan amanahnya negara Islam akan mengoptimalkan hasilnya untuk membiayai kepentingan rakyat seperti membiayai fasilitas kesehatan, jalan atau pendidikan.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw yang artinya: “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad). Allahu alam bisshowab.